Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu
Kalam
Filsafat pada dasar nya adalah pemikiran
dan pembahasan mengenai alam wujud dan manusia. Sedangkan metode filsafat
adalah pembuktian melalui dalil-dalil aqli (rasional) sebagaimana yang
dilakukan oleh ahli fikir islam dan yunani pada zaman dahulu. Objek pemikiran
filsafat adalah alam semesta dan manusia, termasuk pandangan mengenai prinsip
eksistensi dan sebab musababnya.
Ilmu kalam ialah rangkaian argumentasi rasional yang
disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama islam.
Metode ilmu kalam adalah diskusi keagamaan. Objek ilmu kalam atas dasar
pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifat-Nya dan hubungan-Nya dengan alam
semesta serta manusia yang hidup di muka bumi sesuai dengan ketentuan hokum
Ilahi yang ditetapkan bagi hamba-hambaNya, sebagaimana termaktub di dalam
kitab-kitab suciNya.
Sejarah Ilmu Kalam
Peperangan
antara Mu'awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib tidak dapat dihindarkan lagi.
Peperangan ini terjadi karena perbedaan pendapat antara kedua pihak. Peperangan
ini diakhiri dengan gencatan senjata untuk mengadakan perundingan antara kedua
belah pihak. Perang antara pasukan Mu'awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib ini
disebut Perang Siffin.
Dalam perang ini pasukan Ali dapat mendesak dan hampir mengalahkan pasukan
Mu'awiyah. Akan tetapi, ditengah keterdesakan itu, pasukan Mu'awiyah mengangkat
Mushaf Al-Qur'an diujung tombak sebagai tanda perdamaian. Ali dan sebagian
pasukannya hendak mengacuhkan sinyal perdamaian yang ditampakkan pihak
Mu'awiyah dan hendak menggempur habis pasukan pemberontak tersebut. Akan
tetapi, para Ahlul al-Qurra'(sahabat
yang hafal Al-Qur'an) yang ada dipihak Ali bin Abi Thalib memaksa menyetujui
perdamaian.
Akhirnya Ali
bin Abi Thalib menyetujui diadakannya perdamaian dengan pasukan Mu'awiyah.
Dalam peristiwa ini ada segolongan orang yang berada di pihak Ali merasa tidak
sependapat dengan tindakan Ali bin Abi Thalib. Golongan inilah yang melakukan
pemisahan diri dengan Ali bin Abi Thalib dan membentuk suatu golongan yang
disebutKhawarij.
Dengan
diterimanya perdamaian itu, mulailah diplomasi. Khalifah Ali bin Abi Thalib
mengirim Abu Musa Al-asy'ari, sahabat senior yang sangat jujur sebagai wakil
kelompoknya. Sedangkan Mu'awiyah mengutus Amru bin Ash, politisi ulung yang
licik. Sebuah diplomasi yang timpang. Namun, tiba-tiba Amru bin Ash memberi
penghormatan dan mempersilahkan Abu Musa sebagai orang tua untuk berbicara
terlebih dahulu.
Dalam mewakili
pihak Ali bin Abi Thalib, Abu Musa mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib menerima
tawaran damai dan siap mundur dari jabatan kekhalifahan. Maka menurutnya perlu
diadakan pemilihan ulang secara jujur dan adil.
Saat tiba
giliran Amru bin Ash yang mewakili pihak Mu'awiyah berbicara, diluar dugaan
pihak Ali, Amru dengan licik mengatakan "Anda semua telah mendengar bahwa
Abu Musa telah menurunkan Ali dari Tahtanya. Artinya, khalifah tinggal satu,
yaitu Mu'awiyah. Dengan demikian kita kukuhkan saja Mu'awiyah sebagai khalifah
kita semua". Ucapan Amru bin Ash ini memicu amarah Ali bin Abi Thalib dan
pasukannya sehingga Ali dan pasukannya mengangkat pedang kembali dan mengejar
Mu'awiyah dan pasukannya yang tunggang langgang.
Meskipun
pasukan Mu'awiyah lari dari medan perang, suasana politik yang dihasilkan oleh
diplomasi kedua pihak tersebut merupakan kekalahan dari pihak Ali. Secara de facto Ali bin Abi Thalib adalah khalifah
tapi secara de jure Mu'awiyah telah mengambil kekuasaan.
Maka, sejak saat itu dunia Islam dipimpin dua khalifah, Ali dipihak mayoritas
dan Mu'awiyah untuk minoritas masyarakat Siria.
Kekalahan
pihak Ali bin Abi Thalib dalam tahkim tersebut membuat sebagian pendukung Ali
bin Abi Thalib kecewa untuk yang kedua kalinya. Mereka pun menyatakan keluar
dari barisan Ali bin Abi Thalib. mereka yang disebut Khawarij (tahap ke-2),
yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang pertama. Kelompok Khawarij ini
terdiri atas orang-orang Arab Badui (pedalaman, desa) yang memiliki cara
berpikir sederhana dan tekstualis. Merekalah yang kemudian menyatakan kedua
kelompok yang terlibat dalam tahkim itu sebagai kafir, karena dianggap tidak
memutuskan perselisihan berdasarkan Al-Qur'an.
Selain
kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, yaitu Khawarij, ada juga
yang membelanya secara berlebihan. Mereka inilah yang nantinya disebut sebagai
kelompok Syiah. Menanggapi persoalan ini, mayoritas muslimin pada saat
itu lebih memilih diam dan tidak mau terjebak dalam persoalan
kafir-mengkafirkan. Kelompok masyarakat inilah yang disebut Murji'ah.