Welcome... !!! Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Ini :)

Selasa, 12 Maret 2013

Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu Kalam

Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu Kalam
Filsafat pada dasar nya adalah pemikiran dan pembahasan mengenai alam wujud dan manusia. Sedangkan metode filsafat adalah pembuktian melalui dalil-dalil aqli (rasional) sebagaimana yang dilakukan oleh ahli fikir islam dan yunani pada zaman dahulu. Objek pemikiran filsafat adalah alam semesta dan manusia, termasuk pandangan mengenai prinsip eksistensi dan sebab musababnya.
Ilmu kalam  ialah rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama islam. Metode ilmu kalam adalah diskusi keagamaan. Objek ilmu kalam atas dasar pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifat-Nya dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta manusia yang hidup di muka bumi sesuai dengan ketentuan hokum Ilahi yang ditetapkan bagi hamba-hambaNya, sebagaimana termaktub di dalam kitab-kitab suciNya.

Sejarah Ilmu Kalam
Peperangan antara Mu'awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib tidak dapat dihindarkan lagi. Peperangan ini terjadi karena perbedaan pendapat antara kedua pihak. Peperangan ini diakhiri dengan gencatan senjata untuk mengadakan perundingan antara kedua belah pihak. Perang antara pasukan Mu'awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib ini disebut Perang Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali dapat mendesak dan hampir mengalahkan pasukan Mu'awiyah. Akan tetapi, ditengah keterdesakan itu, pasukan Mu'awiyah mengangkat Mushaf Al-Qur'an diujung tombak sebagai tanda perdamaian. Ali dan sebagian pasukannya hendak mengacuhkan sinyal perdamaian yang ditampakkan pihak Mu'awiyah dan hendak menggempur habis pasukan pemberontak tersebut. Akan tetapi, para Ahlul al-Qurra'(sahabat yang hafal Al-Qur'an) yang ada dipihak Ali bin Abi Thalib memaksa menyetujui perdamaian.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib menyetujui diadakannya perdamaian dengan pasukan Mu'awiyah. Dalam peristiwa ini ada segolongan orang yang berada di pihak Ali merasa tidak sependapat dengan tindakan Ali bin Abi Thalib. Golongan inilah yang melakukan pemisahan diri dengan Ali bin Abi Thalib dan membentuk suatu golongan yang disebutKhawarij.
Dengan diterimanya perdamaian itu, mulailah diplomasi. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim Abu Musa Al-asy'ari, sahabat senior yang sangat jujur sebagai wakil kelompoknya. Sedangkan Mu'awiyah mengutus Amru bin Ash, politisi ulung yang licik. Sebuah diplomasi yang timpang. Namun, tiba-tiba Amru bin Ash memberi penghormatan dan mempersilahkan Abu Musa sebagai orang tua untuk berbicara terlebih dahulu.
Dalam mewakili pihak Ali bin Abi Thalib, Abu Musa mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib menerima tawaran damai dan siap mundur dari jabatan kekhalifahan. Maka menurutnya perlu diadakan pemilihan ulang secara jujur dan adil.
Saat tiba giliran Amru bin Ash yang mewakili pihak Mu'awiyah berbicara, diluar dugaan pihak Ali, Amru dengan licik mengatakan "Anda semua telah mendengar bahwa Abu Musa telah menurunkan Ali dari Tahtanya. Artinya, khalifah tinggal satu, yaitu Mu'awiyah. Dengan demikian kita kukuhkan saja Mu'awiyah sebagai khalifah kita semua". Ucapan Amru bin Ash ini memicu amarah Ali bin Abi Thalib dan pasukannya sehingga Ali dan pasukannya mengangkat pedang kembali dan mengejar Mu'awiyah dan pasukannya yang tunggang langgang.
Meskipun pasukan Mu'awiyah lari dari medan perang, suasana politik yang dihasilkan oleh diplomasi kedua pihak tersebut merupakan kekalahan dari pihak Ali. Secara de facto Ali bin Abi Thalib adalah khalifah tapi secara de jure Mu'awiyah telah mengambil kekuasaan. Maka, sejak saat itu dunia Islam dipimpin dua khalifah, Ali dipihak mayoritas dan Mu'awiyah untuk minoritas masyarakat Siria.
Kekalahan pihak Ali bin Abi Thalib dalam tahkim tersebut membuat sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib kecewa untuk yang kedua kalinya. Mereka pun menyatakan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. mereka yang disebut Khawarij (tahap ke-2), yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang pertama. Kelompok Khawarij ini terdiri atas orang-orang Arab Badui (pedalaman, desa) yang memiliki cara berpikir sederhana dan tekstualis. Merekalah yang kemudian menyatakan kedua kelompok yang terlibat dalam tahkim itu sebagai kafir, karena dianggap tidak memutuskan perselisihan berdasarkan Al-Qur'an.
Selain kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, yaitu Khawarij, ada juga yang membelanya secara berlebihan. Mereka inilah yang nantinya disebut sebagai kelompok Syiah. Menanggapi persoalan ini, mayoritas muslimin pada saat itu lebih memilih diam dan tidak mau terjebak dalam persoalan kafir-mengkafirkan. Kelompok masyarakat inilah yang disebut Murji'ah.