Welcome... !!! Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Ini :)

Selasa, 24 April 2012

Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits


Kedudukan Sunah dalam Sistem Hukum Islam

Hukum Islam bertumpu dan bersumber pada dua macam sumber hukum yang utama, yaitu Alquran dan Sunnah (Alhadits). Alquran adalah kalamulloh yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah. Allah menurunkan Alquran kepada Muhammd dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Alquran diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada Nabi secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bukan pula ilham (bisikan pada jiwa), kemudian Alquran disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Sedangkan Alhadits dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat, atau keadaan akhlak dan bentuk fisiknya Nabi. Adapun yang dimaksud dengan persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan di hadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatuan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau tapi beritanya sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan ketidakingkarannya itu merupakan persetujuan (takrir).

STATUS ANAK HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH


STATUS ANAK HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH

Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. (Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.)