PENDAHULUAN
Dalam hukum perdata, wasiat dan hibah merupakan sesuatu yang penting .karena harta kekayaan merupakan salah satu dari apa-apa yang dicintai manusia, sehingga mungkin terjadinya perselisihan antar ahli waris dalam hal pembagian harta warisan. Perselisihan itu dapat dihindarkan dengan adanya pesan terakhir. Perbuatan penetapan pesan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia dalam islam ini dikenal dengan istilah wasiat. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan siapa saja yang akan menjadi waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu diperuntukan kepada seseorang tertentu, baik berupa beberapa benda tertentu atau sejumlah benda yang dapat di ganti. Dan juga dengan diberlakukannya hibah, yaitu pemberian secara cuma-cuma dari pewaris kepada ahli warisnya ataupun bisa kepada orang lain. Penerimaan hibah wasiat ini, hanya mengganti kedudukan pewaris terhadap satu atau beberapa benda khusus, dan oleh karena itu ia menjadi orang yang menerima hak dengan titel khusus. Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang apa itu surat wasiat, dan juga jenis-jenisnya,.
HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA BIDANG WASIAT
A.
Pengertian
Dan Jenis-Jenis Surat Wasiat
menurut istilah Syara’ ialah:
Pemberian hak
kepada seseorang yang digantungkan berlakunya setelah mati, atau meninggalnya
si pemberi wasiat, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaatnya.[1]
Wasiat berasal dari bahasa arab yaitu Washiyyah yang menurut fiqh Islam terdapat bermacam-macam
pengertian yang diberikan terhadap wasiat atau washiyyah tersebut.
Menurut Imam Hanbali, Wasiat Ialah:
Memberikan hak
memiliki sesuatu sacara sukarela ( Tabarru
) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang
memberikan baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.
Menurut Imam Malik, wasiat ialah :
Suatu Perikatan
yang Mengharuskan Penerima wasiat menghendaki sepertiga harta peninggalan si
pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak sepertiga harta
peninggalan si pewaris kepada si penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.[2]
Menurut KUH Perdata (BW) wasiat terstamen ialah suatu pernyataan
dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal Dunia. Pada
asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu puhak
saja(eenzijdig)dab setiap waktu dapat ditarik kambali oleh yang membuatnya .
Penarikan kemabli itu (Herroepen)
boleh secara tegas (uitdrukkelijk)
atau secara diam-diam (stilzwrijgend).[3]
Bahwa pasal 874
KUH Perdata (BW) mengandung suatu syarat bahwa isi pernyataan kemauaan terakhir
(testament) itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undangan.
Suatu
testament, juga dapat berisikan “Legaat”
yaitu suatu pemberian kepada seseorang.Dalam pasal 875 surat wasiat atau testamen adalah
akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia
meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali.
Dalam pembuatan surat wasiat atau testament harus ada ketentuan sebagai berikut:
Dalam pembuatan surat wasiat atau testament harus ada ketentuan sebagai berikut:
Pasal 888: jika testament memuat syarat-syarat yang tidak dapat di mengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianngap tak tertulis.
Pasal 890:jika testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tau akan kepalsuannya maka testament tidaklah sah.
Pasal 893: suatu testament adalah batal, jika di buat karna paksa, tipu atau muslihat
Selain larangan-larangan umum yana tercantum di atas dalam hukum waris masih terdapat banyak sekali larangan-larangan yang tidak boleh di muat dalam testament.[4]
Di antara larangan yang paling penting adalah larangan-larangan
membuat suatu ketentuan sehingga legitieme portie menjadi kurang dari
semestinya.
Jenis-jenis wasiat menurut isi wasiat dibagi dua jenis:
a)
Wasiat
yang berisi “erfstrlling”, atau wasiat yang berisi pengangkatan waris.
Dalam
pasal 954 wasiat pengangkatan waris , adalah wasiat dengan mana orang yang
mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau lebih dari seseorang, selurh atau
sebagian dari harta kekeyaannya,kalau ia meninggal dunia.
b)
Wasiat
yang berisi hibah (hibah wasiat) atau legaat.
Pasal
957 memberi keterangan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di
dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seseorang
atau beberapa orang, seperti
·
beberapa
barang tertentu.
·
barang-barang
dari satu jenis tertentu.
·
hak
pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalan.
·
Suatu
hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda
tertentu dari boedel.
Orang
yang menerima suatu leegat, dinamakan legataris, ia bukan ahli waris. Seorang
legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu benda
tersebut terhadap orang lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu
benda yang harus ditagih dari seorang legataris dinamakan suatu sublegaat.
.
Jika dalam suatu testament beberapa orang bersama-sama dijadikan waris, dengan tidak disebutkan bagian masing-masing, dan kemudian salah seorang meninggal, maka bagian orang yang meninggal akan jatuh pada waris-waris lainnya yang sama-sama ditunjuk, sehingga bagian orang yang masih hidup bertambah. Begitu juga bila dalam satu testament diberikan satu benda yang tidak dapat dibagi-bagi, misalnya diberikannya seekor kuda kepada dua orang bersama-sama, dan salah satunya meninggal dunia, maka benda itu seluruhnya akan jatuh kepada orang yang masih hidup. Satu dan lain ini, dalam hukum waris dinamakan “aanwas” (lihat pasal 1002 dan 1003).[5]
Jika dalam suatu testament beberapa orang bersama-sama dijadikan waris, dengan tidak disebutkan bagian masing-masing, dan kemudian salah seorang meninggal, maka bagian orang yang meninggal akan jatuh pada waris-waris lainnya yang sama-sama ditunjuk, sehingga bagian orang yang masih hidup bertambah. Begitu juga bila dalam satu testament diberikan satu benda yang tidak dapat dibagi-bagi, misalnya diberikannya seekor kuda kepada dua orang bersama-sama, dan salah satunya meninggal dunia, maka benda itu seluruhnya akan jatuh kepada orang yang masih hidup. Satu dan lain ini, dalam hukum waris dinamakan “aanwas” (lihat pasal 1002 dan 1003).[5]
Suatu erfestelling atau suatu leegat, dapat disertai dengan suatu beban, misal orang dijadikan waris dengan beban untuk memberikan pensiun pada ibu si meninggal. Suatu beban mengikat suatu waris atau legataris. Ia memberikan kepada seseorang suatu hak penuntutan terhadap seorang waris atau lagataris secara perseorangan dengan begitu apa yuang dinamakan sublegaat adalah suatu beban. Jika suatu beban tidak dipenuhi, maka warisan atau legaat dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berkepentingan atau atas permintaan waris yang lainnya.
Suatu erfestelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu syarat atau “voorwarde” yaitu suatu kajadian dikemudian hari yang pada saat pembuatan testament itu belum tentu akan datang atau tidak. Misalnya seseorang dijadikan ahli waris atau diberikan suatu barang warisan dengan syarat atau voorwarde, bahwa dari perkawinanya akan dilahirkan anak laki-laki. Tidak diperbolehkan suatu syarat yang sama sekali tidak mungkin akan terlaksana, misalnya langit akan jatuh kebumi. Jika dalam suatu testament dicantumkan suatu syarat yang tidak diperbolehkan itu, maka syarat itu akan batal. Artinya ia dianggap sebagai tidak tertulis dan statement berlaku seolah-olah tidak mengandung suatu syarat (pasal 888).
Selain wasiat dibagi menurut isinya, wasiat juga dibagi menurut bentuknya, yaitu ada 3 :
1.
Wasiat
olografis, wasiat yang ditulis sendiri.
Ciri-ciri
wasiat olografis yang terpenting adalah seluruhnya mesti ditulis dengan tulisan
tangan pewaris yang kemudian ditandatangani. Apabila dalam wasiat terdapat
sedikit tulisan tanghan orang lain, maka tidak berguna lagi. Wasiat diserahkan
kepada notaris untuk disimpan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
wasiat dapat diserahkan dalam keadaan tertutup atau terbuka.
Apabila dalam keadaan terbuka, maka dari penyerahan itu dibuat oleh notaris suatu akta, yang ditandatangani pewaris dan harus ada saksi-saksi dan notaris sendiri. Akta penyimpanan ditulis di kaki wasiat, apabila tidak ada tempat disana maka bisa diulang penulisannya dalam kertas lain. Jika wasiat dalam keadaan tertutp (masuk sampul), maka akta harus dibuat diatas kertas tersendiri, dan diatas sampul yang berisi testament yang harus ada catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiat.
Apabila dalam keadaan terbuka, maka dari penyerahan itu dibuat oleh notaris suatu akta, yang ditandatangani pewaris dan harus ada saksi-saksi dan notaris sendiri. Akta penyimpanan ditulis di kaki wasiat, apabila tidak ada tempat disana maka bisa diulang penulisannya dalam kertas lain. Jika wasiat dalam keadaan tertutp (masuk sampul), maka akta harus dibuat diatas kertas tersendiri, dan diatas sampul yang berisi testament yang harus ada catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiat.
2.
Wasiat
umum (openbaar testament).
Syarat-syarat
tentamg bentuk surat wasiat umum yang tertera dalam pasal 985 dan 986, yaitu
surat wasiat yang dituang dalam akta umum (yang dalam hukum civil sama artinya
dengan akta waris). Ini adalah suatu wasiat yang umumnya disebabkan oleh hal,
bahwa wasiat ini pada dasarnya, mwrupakan suatu wasiat lisan. Akta otentik ini
harus dibuat dihadapan notaris dan dihadiri dua orang saksi, tidak perlu
dikatakan oleh uu. Not. W. berisiskan hal yang serupa untuk setiap akta
notaris. Apabila kehadiran lebih dari orang saksi tidak mengurangi sahnya suatu
wasiat. Uu menghendaki adanya dua orang saksi pada pembuat akta, yaitu untuk mengawasi
notaris. Apabila ada kesalahan dalam wasiat, biasanya tidak dapat diperbaiki
lagi, karena hal itu baru diketahui setelah meninggalnya pewaris.
3.
Wasiat
rahasia atau wasiat tertutup.
Syarat-syarat
tentang bentuk wasiat tertutup lebih berat dari yang diwajibkan pada kedua
bentuk wasiat yang lainnya. Yang khusus dalam hal ini Undang-undang menghendaki
dua orang saksi.
Dalam
pasal 940 dan 941 cara membuat testament ini telah dijabarkan sebagai berikut :
·
Wasiat
harus ditulis sendiri oleh pewaris, atau orang lain untuk dia dan
ditandatangani pewaris sendiri.
·
Kertas
sampul harus disegel atau ditutup.
·
Kertas
sampul harus diserahkan kepada notaris, dan harus dengan empat orang saksi.
·
Keterangan
harus ditulis oleh notaris dalam akta yang dinamakan superscriptie (akta
pengalamatan).
B. Rukun dan Syarat Wasiat
Ada 4 (empat)
macam rukun wasiat, yaitu
1.
Harus
ada orang yang berwasiat (mushih), harus memnuhi persyaratan, yaitu:
a)
Balighh
(Dewasa),
b)
Berakal
sehat (aqil),
c)
Bebas
mengatakan kehendaknya
d)
Merupakan
tindakan tabarru’ (dermawan sukarela atau amal),
e)
Tidak
seseorang yang dibawah pengampunan (curatele), dan
f)
Beragama
Islam[6]
2.
Harus ada seseorang atau badan hukum yang
menerima wasiat (musha-lahu). Dan orang yan menerima wasiat (musha-lahu) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a)
Harus
dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasit
itu, nama orang tersebut badan organisasi tertentu, masjid-masjid.
b)
Telah
wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara juridis
misalnya, anak yang masih dalam kandungan.
c)
Bukan
tujuan kemaksiatan.
3.
Sesuatu
yang diwasiatkan (musha-bihi):
a)
Dapat
berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak,
atau dapat menjadi obyek perjanjian,
b)
Benda
itu sudah ada(wujud) pada waktu diwasiatkan,
c)
Hak
milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat(mushi)
4.
Lafaz / Ucapan wasiat (sighat )
C. Pihak yang Tidak Boleh Menerima Wasiat.
Terkait
dengan pihak-pihak yang tidak boleh menerima wasiat, dalam kitab Fiqh Sunnah
karya Sayyid Sabiq disebutkan bahwa “penerima wasiat bukan merupakan ahli
waris” hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, Ù„َا ÙˆَصِÙŠّØ©َ Ù„ِÙˆَارِØ«“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”(HR. Ahmad, Abu Daud, dan
Tirmidzi).
Meskipun hadist tadi diriwayatkan dari satu orang, namun para ulama menerimanya dan umat Islam secara umum sepakat dengan ketentuan ini.
Meskipun hadist tadi diriwayatkan dari satu orang, namun para ulama menerimanya dan umat Islam secara umum sepakat dengan ketentuan ini.
Dalam
riwayat lain disebutkan, انّ الله اَعطَÙ‰ كلّ Ø°ِÙ‰ ØَÙ‚ّ
ØَÙ‚ّÙ‡, اَÙ„َا Ù„َا ÙˆَصِÙŠّØ©َ Ù„ِÙˆَارِØ«ٍ sungguhnya
Allah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak terhadapnya. Ketahuilah,
tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Adapun
ayat,“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini telah
dihapus ketentuan hukumnya.
Syafi’i
mengatakan “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan ayat wasiat dan menurunkan ayat
warisan. ini mengandung makna bahwa ayat wasiat tetap berlaku selaras dengan
ayat warisan, dan mengandung makna pula bahwa ayat warisan menghapus ayat
wasiat. Para ulama telah diminta untuk memperkuat salah satu dari kedua
kemungkinan makna ini. Mereka pun menemukannya dalam sunnah Rasulullah SAW
bahwasanya diriwayatkan pada peristiwa penaklukan Makkah beliau bersabda,
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Sedangkan
para ahli hukum dikalangan mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki mengatakan bahwa
wasiat kepada ahli waris dan ahli waris lainnya menyetujui adalah diperbolehkan
dengan dasar hadist dari Daruquthni yang mengatakan, ”Tidak sah wasiat kepada
ahli waris kecuali ahli warisnya menyetujui.”
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas, para ulama Indonesia telah merumuskan hal tersebut yang tertuang dalam KHI pasal 195 ayat 3, “Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.”
Sedangkan
pihak-pihak lain yang tidak boleh menerima wasiat, diatur dalam KHI pasal 207,
208,dan 209 berikut, Pasal 207, “Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang
melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi
tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali
ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya.” Pasal 208, “Wasiat
tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.” Pasal 209,
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai
dengan 193, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[7]
D.
Penarikan
Kembali Dan Gugurnya Wasiat.
Diantara
pencabutan dan gugurnya wasiat itu terdapat perbedaan :
Penarikan atau pencabutan wasiat adalah didalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament. Gugur adalah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal-hal yang diluar kemampuan pewaris. Tentang pencabutan wasiat, pencabutan suatu wasiat adalah suatu hal yang inherent dengan sifatnya wasiat sebagai pernyataan yang paling akhir dari pewaris. Apa yang pernah dinyatakan dalam wasiat pada suatu waktu, harus dapat dicabutat atau dirubah kemudian, dan testamen yang terakhir ini berlaku sebagai kehendak yang paling akhir. Selanjutnya pencabutan itu dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Penarikan atau pencabutan wasiat adalah didalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament. Gugur adalah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal-hal yang diluar kemampuan pewaris. Tentang pencabutan wasiat, pencabutan suatu wasiat adalah suatu hal yang inherent dengan sifatnya wasiat sebagai pernyataan yang paling akhir dari pewaris. Apa yang pernah dinyatakan dalam wasiat pada suatu waktu, harus dapat dicabutat atau dirubah kemudian, dan testamen yang terakhir ini berlaku sebagai kehendak yang paling akhir. Selanjutnya pencabutan itu dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Ketentuan-ketentuan
mengenai pencabutan wasiat secara tegas seperti berikut:
Surat wasiat dapat dicabut dengan dua cara :
Surat wasiat dapat dicabut dengan dua cara :
o
Surat
wasiat baru.
o
Akta
notaris khusus, didalam hal ini bahwa isi dari akta itu hanya penarikan kembali
itu saja.
Jika
suatu wasiat memuat suatu hibah, dan kemudian barang yang dihibah wasiatkan itu
dijual atau ditukar, maka wasiat itu dianggap dicabut. Jika wasiat memuat suatu
ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa yang tak tentu, maka jika siwaris
legataris meninggal dunia sebelum peristiwa itu terjadi wasiat itu gugur. Jika
yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat irtu tetap
berlaku, kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu. Didalam
surat wasiat seorang waris atau legataris mendapat bagian atau barang dengan
syarat ia memberi perongkosan selama hidup orang tertentu. Jika syarat-syarat
yang tercantum dalam suatu wasiat tidak dapat dipenuhi, maka suatu wasiat itu
dapat dituntut supaya gugur.
Penarikan
kembali secara diam-diam dalam Burgerlijk ada tiga perumpamaan, yaitu:
1)
Kemungkinan
seseorang yang meninggalkan waris berturut-turut membuat testament dua buah,
dimana isinya satu sama lain tidak sama.
2)
Dalam
pasal 996 BW jika suatu barang yang dalam suatu testament telah dihibahkan
kepada seorang, selanjutnya barang tersebut dijual atau ditukarkan kepada
seorang B oleh si penggugat sebelum yang bersangkutan itu meninggal dunia. Maka
penghibahan terhadap si A wajib dinyatakan dicabut kembali.
3)
Dalam
pasal 995 BW mengatakan bahwa suatu testament olografis dicabut kembali dari
notaries oleh orang yang membuat testament itu, maka testament itu dinyatakan
dicabut. kembali.
Dari
beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1.
Wasiat
tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal
dan tetap dalam wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya
sebelum meninggal. Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi
batal.
2.
Gila
dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum.
Wasiat yang pernah dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut
tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi batal.
3.
Bila
orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan
wasiat dilakukan setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar
akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat
sebelumnya menjadi batal.
4.
Bila
penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka
wasiat tersebut menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5.
Bila
penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6.
Penerima
wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan
wasiat.
7.
Wasiat
bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Mengingat sangat pentingnya wasiat terhadap harta peninggalan seseorang, maka bila suatu wasiat terjadi maka sebaiknya dikuatkan dengan alat-alat bukti yang dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang akan datang. Misalnya, bila wasiat dinyatakan dengan lisan maka hendaklah dihadapkan pada saksi-saksi yang dapat dipercaya dan tidak mempunyai hubungan kepentingan dengan harta peninggalan.
Hal ini sesuai dengan KHI pasal 195, “wasiat dilakukan secara
lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau
dihadapan Notaris.” Untuk lebih jelasnya, dalam KHI pasal 197 disebutkan
kondisi-kondisi yang menyebabkan batalnya wasiat yaitu,
1.
Wasiat
menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.
Dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.
Dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.
c.
Dipersalahkan
dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.
Dipersalahkan
telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
2.
Wasiat
menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.
Tidak
mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat.
b.
Mengetahui
adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.
Mengetahui
adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
Pencabutan
wasiat diatur dalam pasal 199 KHI, yang berbunyi;
1.
Pewasiat
dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sudah menyatakan persetujuannya tapi kemudian menarik kembali.
2.
Pencabutan
wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris
bila wasiat dahulu dibuat secara lisan.
3.
Bila
wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan notaris.
4.
Bila
wasiat dibuat dengan akta notaris, maka hanya dapat dicabut dengan akte notaris.
Kemudian
dalam pasal 203 ayat (2) dikemukakan bahwa “apabila wasiat yang telah
dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali
kepada pewasiat.”
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima wasiat.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat penulis simpulkan, bahwa wasiat atau surat wasiat adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, yang olehnya dapat ditarik kembali. Jika orang yang berada diluar negeri, maka bagaimana cara membuat testament ditentukan dalam pasal 954 : testament harus dibuat dengan akta otentik dengan mengindahkan cara yang berlaku di negara dimana testament itu dibuat.
Untuk keadaan yang darurat atau luar biasa, UU membuka kemungkinan untuk membuat wasiat dengan cara yang sederhana, keadaan itu dapat timbul apabila dihadapkan dalam keadaan perang, berlayar dilautan, berada ditempat terpencil, karena terjangkit penyakit yang menular, dll.
Sedangkan hibah adalah suatu penetapan yang khusus, yang mana pewaris memberikan barang-barang tertentu secara Cuma-Cuma kepada seseorang atau lebih dimasa hidupnya, dan tidak dapat ditarik kembali.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat penulis buat, dan penulis sadar dalam penyusunan makalah ini
pasti banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun penyajiannya
dan juga dengan sangat minimnya referensi yang penulis cantumkan, untuk itu
kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan . dan akhirnya semoga
makalah ini bermanfaat, Aminn.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali, S.H, hukum waris hukum keluarga hukum pembuktian, 1986, Jakarta, PT Bina Aksar.
Hoesin. Ibrahim, K.H, Problematika
Wasiat menurut Pandangn Islam, Jakarta: 1985
Ramulyo. Idris, M. S.
H., M. H, Perbandinagn Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan menurut Hukum
Perdata ( BW ), cetkan ke 2, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2000).
Subekti,
Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke
XIX, Jakarta: 1984
[1]
K.H. Ibrahim Hoesin,Problematika Wasiat
menurut Pandangn Islam, Jakarta: 1985
[2] M.
Idris Ramulyo, S. H., M. H, Perbandinagn
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
menurut Hukum Perdata ( BW ), cetkan ke 2, ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2000).hlm 131-132
[3]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
cetakan ke XIX, Jakarta: 1984
[4] Afandi,
Ali, S.H, hukum waris hukum keluarga hukum pembuktian, 1986, Jakarta, PT
Bina Aksar,
hal 236
[6]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam,
(Jakarta: Attahiriyah, 1954)hlm. 352
[7] http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/05/04/wasiat-dalam-perspektif-fiqih-dan-khi/ diakses pada tanggal 9 mei 2012 pukul 05.23
[8] http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/05/04/wasiat-dalam-perspektif-fiqih-dan-khi/ diakses pada tanggal 9 mei 2012 pukul 05.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar