Welcome... !!! Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Ini :)

Jumat, 11 Mei 2012

Hukum Perdata Islam di Indonesia Bidang Wasiat



PENDAHULUAN

Dalam hukum perdata, wasiat dan hibah merupakan sesuatu yang penting .karena harta kekayaan merupakan salah satu dari apa-apa yang dicintai manusia, sehingga mungkin terjadinya perselisihan antar ahli waris dalam hal pembagian harta warisan. Perselisihan itu dapat dihindarkan dengan adanya pesan terakhir. Perbuatan penetapan pesan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia dalam islam ini dikenal dengan istilah wasiat. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan siapa saja yang akan menjadi waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu diperuntukan kepada seseorang tertentu, baik berupa beberapa benda tertentu atau sejumlah benda yang dapat di ganti. Dan juga dengan diberlakukannya hibah, yaitu pemberian secara cuma-cuma dari pewaris kepada ahli warisnya ataupun bisa kepada orang lain. Penerimaan hibah wasiat ini, hanya mengganti kedudukan pewaris terhadap satu atau beberapa benda khusus, dan oleh karena itu ia menjadi orang yang menerima hak dengan titel khusus. Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang apa itu surat wasiat, dan juga jenis-jenisnya,.












HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA BIDANG WASIAT
A.    Pengertian Dan Jenis-Jenis Surat Wasiat
menurut istilah Syara’ ialah:
Pemberian hak kepada seseorang yang digantungkan berlakunya setelah mati, atau meninggalnya si pemberi wasiat, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaatnya.[1]
Wasiat berasal dari bahasa arab yaitu Washiyyah yang menurut fiqh Islam terdapat bermacam-macam pengertian yang diberikan terhadap wasiat atau washiyyah tersebut.
Menurut Imam Hanbali, Wasiat Ialah:
Memberikan hak memiliki sesuatu sacara sukarela ( Tabarru ) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.
Menurut Imam Malik, wasiat ialah :
Suatu Perikatan yang Mengharuskan Penerima wasiat menghendaki sepertiga harta peninggalan si pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak sepertiga harta peninggalan si pewaris kepada si penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.[2]
Menurut KUH Perdata (BW) wasiat terstamen ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal Dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu puhak saja(eenzijdig)dab setiap waktu dapat ditarik kambali oleh yang membuatnya . Penarikan kemabli itu (Herroepen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam (stilzwrijgend).[3]
Bahwa pasal 874 KUH Perdata (BW) mengandung suatu syarat bahwa isi pernyataan kemauaan terakhir (testament) itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undangan.
Suatu testament, juga dapat berisikan “Legaat” yaitu suatu pemberian kepada seseorang.Dalam pasal 875 surat wasiat atau testamen adalah akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali. 
Dalam pembuatan surat wasiat atau testament harus ada ketentuan sebagai berikut:

Pasal 888: jika testament memuat syarat-syarat yang tidak dapat di mengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianngap tak tertulis.

Pasal 890:jika testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tau akan kepalsuannya maka testament tidaklah sah.

Pasal 893: suatu testament adalah batal, jika di buat karna paksa, tipu atau muslihat 
Selain larangan-larangan umum yana tercantum di atas dalam hukum waris masih terdapat banyak sekali larangan-larangan yang tidak boleh di muat dalam testament.[4]
Di antara larangan yang paling penting adalah larangan-larangan membuat suatu ketentuan sehingga legitieme portie menjadi kurang dari semestinya.

Jenis-jenis wasiat menurut isi wasiat dibagi dua jenis:
a)      Wasiat yang berisi “erfstrlling”, atau wasiat yang berisi pengangkatan waris.
Dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris , adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau lebih dari seseorang, selurh atau sebagian dari harta kekeyaannya,kalau ia meninggal dunia.



b)      Wasiat yang berisi hibah (hibah wasiat) atau legaat.
Pasal 957 memberi keterangan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau beberapa orang, seperti

·         beberapa barang tertentu.
·         barang-barang dari satu jenis tertentu.
·         hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalan.
·         Suatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.

Orang yang menerima suatu leegat, dinamakan legataris, ia bukan ahli waris. Seorang legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu benda tersebut terhadap orang lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu benda yang harus ditagih dari seorang legataris dinamakan suatu sublegaat.
.
Jika dalam suatu testament beberapa orang bersama-sama dijadikan waris, dengan tidak disebutkan bagian masing-masing, dan kemudian salah seorang meninggal, maka bagian orang yang meninggal akan jatuh pada waris-waris lainnya yang sama-sama ditunjuk, sehingga bagian orang yang masih hidup bertambah. Begitu juga bila dalam satu testament diberikan satu benda yang tidak dapat dibagi-bagi, misalnya diberikannya seekor kuda kepada dua orang bersama-sama, dan salah satunya meninggal dunia, maka benda itu seluruhnya akan jatuh kepada orang yang masih hidup. Satu dan lain ini, dalam hukum waris dinamakan “aanwas” (lihat pasal 1002 dan 1003).[5]

Suatu erfestelling atau suatu leegat, dapat disertai dengan suatu beban, misal orang dijadikan waris dengan beban untuk memberikan pensiun pada ibu si meninggal. Suatu beban mengikat suatu waris atau legataris. Ia memberikan kepada seseorang suatu hak penuntutan terhadap seorang waris atau lagataris secara perseorangan dengan begitu apa yuang dinamakan sublegaat adalah suatu beban. Jika suatu beban tidak dipenuhi, maka warisan atau legaat dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berkepentingan atau atas permintaan waris yang lainnya.

Suatu erfestelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu syarat atau “voorwarde” yaitu suatu kajadian dikemudian hari yang pada saat pembuatan testament itu belum tentu akan datang atau tidak. Misalnya seseorang dijadikan ahli waris atau diberikan suatu barang warisan dengan syarat atau voorwarde, bahwa dari perkawinanya akan dilahirkan anak laki-laki. Tidak diperbolehkan suatu syarat yang sama sekali tidak mungkin akan terlaksana, misalnya langit akan jatuh kebumi. Jika dalam suatu testament dicantumkan suatu syarat yang tidak diperbolehkan itu, maka syarat itu akan batal. Artinya ia dianggap sebagai tidak tertulis dan statement berlaku seolah-olah tidak mengandung suatu syarat (pasal 888). 

Selain wasiat dibagi menurut isinya, wasiat juga dibagi menurut bentuknya, yaitu ada 3 :
1.      Wasiat olografis, wasiat yang ditulis sendiri.
Ciri-ciri wasiat olografis yang terpenting adalah seluruhnya mesti ditulis dengan tulisan tangan pewaris yang kemudian ditandatangani. Apabila dalam wasiat terdapat sedikit tulisan tanghan orang lain, maka tidak berguna lagi. Wasiat diserahkan kepada notaris untuk disimpan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu wasiat dapat diserahkan dalam keadaan tertutup atau terbuka.
Apabila dalam keadaan terbuka, maka dari penyerahan itu dibuat oleh notaris suatu akta, yang ditandatangani pewaris dan harus ada saksi-saksi dan notaris sendiri. Akta penyimpanan ditulis di kaki wasiat, apabila tidak ada tempat disana maka bisa diulang penulisannya dalam kertas lain. Jika wasiat dalam keadaan tertutp (masuk sampul), maka akta harus dibuat diatas kertas tersendiri, dan diatas sampul yang berisi testament yang harus ada catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiat.

2.      Wasiat umum (openbaar testament).
Syarat-syarat tentamg bentuk surat wasiat umum yang tertera dalam pasal 985 dan 986, yaitu surat wasiat yang dituang dalam akta umum (yang dalam hukum civil sama artinya dengan akta waris). Ini adalah suatu wasiat yang umumnya disebabkan oleh hal, bahwa wasiat ini pada dasarnya, mwrupakan suatu wasiat lisan. Akta otentik ini harus dibuat dihadapan notaris dan dihadiri dua orang saksi, tidak perlu dikatakan oleh uu. Not. W. berisiskan hal yang serupa untuk setiap akta notaris. Apabila kehadiran lebih dari orang saksi tidak mengurangi sahnya suatu wasiat. Uu menghendaki adanya dua orang saksi pada pembuat akta, yaitu untuk mengawasi notaris. Apabila ada kesalahan dalam wasiat, biasanya tidak dapat diperbaiki lagi, karena hal itu baru diketahui setelah meninggalnya pewaris.




3.      Wasiat rahasia atau wasiat tertutup.
Syarat-syarat tentang bentuk wasiat tertutup lebih berat dari yang diwajibkan pada kedua bentuk wasiat yang lainnya. Yang khusus dalam hal ini Undang-undang menghendaki dua orang saksi.
Dalam pasal 940 dan 941 cara membuat testament ini telah dijabarkan sebagai berikut : 
·         Wasiat harus ditulis sendiri oleh pewaris, atau orang lain untuk dia dan ditandatangani pewaris sendiri.
·         Kertas sampul harus disegel atau ditutup.
·         Kertas sampul harus diserahkan kepada notaris, dan harus dengan empat orang saksi.
·         Keterangan harus ditulis oleh notaris dalam akta yang dinamakan superscriptie (akta pengalamatan).

B.     Rukun dan Syarat Wasiat
Ada 4 (empat) macam rukun wasiat, yaitu
1.         Harus ada orang yang berwasiat (mushih), harus memnuhi persyaratan, yaitu:
a)      Balighh (Dewasa),
b)      Berakal sehat (aqil),
c)      Bebas mengatakan kehendaknya
d)     Merupakan tindakan tabarru’ (dermawan sukarela atau amal),
e)      Tidak seseorang yang dibawah pengampunan (curatele), dan
f)       Beragama Islam[6]
2.          Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat (musha-lahu). Dan orang yan menerima wasiat (musha-lahu) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasit itu, nama orang tersebut badan organisasi tertentu, masjid-masjid.
b)      Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara juridis misalnya, anak yang masih dalam kandungan.
c)      Bukan tujuan kemaksiatan.
3.         Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi):
a)      Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak, atau dapat menjadi obyek perjanjian,
b)      Benda itu sudah ada(wujud) pada waktu diwasiatkan,
c)      Hak milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat(mushi)
4.                                                                                              Lafaz / Ucapan wasiat (sighat )

C.  Pihak yang Tidak Boleh Menerima Wasiat.
Terkait dengan pihak-pihak yang tidak boleh menerima wasiat, dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq disebutkan bahwa “penerima wasiat bukan merupakan ahli waris” hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,  Ù„َا ÙˆَصِÙŠّØ©َ Ù„ِÙˆَارِØ«“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Meskipun hadist  tadi  diriwayatkan dari satu orang, namun para ulama menerimanya dan umat Islam secara umum sepakat dengan ketentuan ini.
Dalam riwayat lain disebutkan, انّ الله اَعطَÙ‰ كلّ Ø°ِÙ‰ Ø­َÙ‚ّ Ø­َÙ‚ّÙ‡, اَÙ„َا Ù„َا ÙˆَصِÙŠّØ©َ Ù„ِÙˆَارِØ«ٍ  sungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak terhadapnya. Ketahuilah, tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Adapun ayat,“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini telah dihapus ketentuan hukumnya.

Syafi’i mengatakan “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan ayat wasiat dan menurunkan ayat warisan. ini mengandung makna bahwa ayat wasiat tetap berlaku selaras dengan ayat warisan, dan mengandung makna pula bahwa ayat warisan menghapus ayat wasiat. Para ulama telah diminta untuk memperkuat salah satu dari kedua kemungkinan makna ini. Mereka pun menemukannya dalam sunnah Rasulullah SAW bahwasanya diriwayatkan pada peristiwa penaklukan Makkah beliau bersabda, “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Sedangkan para ahli hukum dikalangan mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki mengatakan bahwa wasiat kepada ahli waris dan ahli waris lainnya menyetujui adalah diperbolehkan dengan dasar hadist dari Daruquthni yang mengatakan, ”Tidak sah wasiat kepada ahli waris kecuali ahli warisnya menyetujui.”

Terlepas dari perbedaan pendapat diatas, para ulama Indonesia telah merumuskan hal tersebut yang tertuang dalam KHI pasal 195 ayat 3, “Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.”
Sedangkan pihak-pihak lain yang tidak boleh menerima wasiat, diatur dalam KHI pasal 207, 208,dan 209 berikut, Pasal 207, “Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya.” Pasal 208, “Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.” Pasal 209, (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[7]

D.    Penarikan Kembali Dan Gugurnya Wasiat.

Diantara pencabutan dan gugurnya wasiat itu terdapat perbedaan :
Penarikan atau pencabutan wasiat adalah didalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament.  Gugur adalah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal-hal yang diluar kemampuan pewaris. Tentang pencabutan wasiat, pencabutan suatu wasiat adalah suatu hal yang inherent dengan sifatnya wasiat sebagai pernyataan yang paling akhir dari pewaris. Apa yang pernah dinyatakan dalam wasiat pada suatu waktu, harus dapat dicabutat atau dirubah kemudian, dan testamen yang terakhir ini berlaku sebagai kehendak yang paling akhir. Selanjutnya pencabutan itu dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Ketentuan-ketentuan mengenai pencabutan wasiat secara tegas seperti berikut:
Surat wasiat dapat dicabut dengan dua cara :
o   Surat wasiat baru.
o   Akta notaris khusus, didalam hal ini bahwa isi dari akta itu hanya penarikan kembali itu saja.
Jika suatu wasiat memuat suatu hibah, dan kemudian barang yang dihibah wasiatkan itu dijual atau ditukar, maka wasiat itu dianggap dicabut. Jika wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa yang tak tentu, maka jika siwaris legataris meninggal dunia sebelum peristiwa itu terjadi wasiat itu gugur. Jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat irtu tetap berlaku, kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu. Didalam surat wasiat seorang waris atau legataris mendapat bagian atau barang dengan syarat ia memberi perongkosan selama hidup orang tertentu. Jika syarat-syarat yang tercantum dalam suatu wasiat tidak dapat dipenuhi, maka suatu wasiat itu dapat dituntut supaya gugur.
Penarikan kembali secara diam-diam dalam Burgerlijk ada tiga perumpamaan, yaitu:
1)      Kemungkinan seseorang yang meninggalkan waris berturut-turut membuat testament dua buah, dimana isinya satu sama lain tidak sama.
2)      Dalam pasal 996 BW jika suatu barang yang dalam suatu testament telah dihibahkan kepada seorang, selanjutnya barang tersebut dijual atau ditukarkan kepada seorang B oleh si penggugat sebelum yang bersangkutan itu meninggal dunia. Maka penghibahan terhadap si A wajib dinyatakan dicabut kembali.
3)      Dalam pasal 995 BW mengatakan bahwa suatu testament olografis dicabut kembali dari notaries oleh orang yang membuat testament itu, maka testament itu dinyatakan dicabut. kembali. 
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 
1.      Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal. Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2.      Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi batal.
3.      Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4.      Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5.      Bila penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6.      Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan wasiat.
7.      Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Mengingat sangat pentingnya wasiat terhadap harta peninggalan seseorang, maka bila suatu wasiat terjadi maka sebaiknya dikuatkan dengan alat-alat bukti yang dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang akan datang. Misalnya, bila wasiat dinyatakan dengan lisan maka hendaklah dihadapkan pada saksi-saksi yang dapat dipercaya dan tidak mempunyai hubungan kepentingan dengan harta peninggalan.
Hal ini sesuai dengan KHI pasal 195, “wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.” Untuk lebih jelasnya, dalam KHI pasal 197 disebutkan kondisi-kondisi yang menyebabkan batalnya wasiat yaitu,
1.      Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.       Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.      Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
2.      Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.       Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
b.      Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.       Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3.       Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.[8]

Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI, yang berbunyi;
1.      Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sudah menyatakan persetujuannya tapi kemudian menarik kembali.
2.      Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat dahulu dibuat secara lisan.
3.      Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan notaris.
4.      Bila wasiat dibuat dengan akta notaris, maka hanya dapat dicabut dengan akte notaris.
Kemudian dalam pasal 203 ayat (2) dikemukakan bahwa “apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.”
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima wasiat.



















KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas, dapat penulis simpulkan, bahwa wasiat atau surat wasiat adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, yang olehnya dapat ditarik kembali. Jika orang yang berada diluar negeri, maka bagaimana cara membuat testament ditentukan dalam pasal 954 : testament harus dibuat dengan akta otentik dengan mengindahkan cara yang berlaku di negara dimana testament itu dibuat.

Untuk keadaan yang darurat atau luar biasa, UU membuka kemungkinan untuk membuat wasiat dengan cara yang sederhana, keadaan itu dapat timbul apabila dihadapkan dalam keadaan perang, berlayar dilautan, berada ditempat terpencil, karena terjangkit penyakit yang menular, dll.
Sedangkan hibah adalah suatu penetapan yang khusus, yang mana pewaris memberikan barang-barang tertentu secara Cuma-Cuma kepada seseorang atau lebih dimasa hidupnya, dan tidak dapat ditarik kembali. 

PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, dan penulis sadar dalam penyusunan makalah ini pasti banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun penyajiannya dan juga dengan sangat minimnya referensi yang penulis cantumkan, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan . dan akhirnya semoga makalah ini bermanfaat, Aminn. 






DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali, S.H, hukum waris hukum keluarga hukum pembuktian, 1986, Jakarta, PT Bina Aksar.

 Hoesin. Ibrahim, K.H, Problematika Wasiat menurut Pandangn Islam, Jakarta: 1985
           
Ramulyo. Idris, M. S. H., M. H, Perbandinagn Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan  menurut Hukum Perdata ( BW ), cetkan ke 2, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2000).

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke XIX, Jakarta: 1984







[1] K.H. Ibrahim Hoesin,Problematika Wasiat menurut Pandangn Islam, Jakarta: 1985
[2] M. Idris Ramulyo, S. H., M. H, Perbandinagn Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan  menurut Hukum Perdata ( BW ), cetkan ke 2, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2000).hlm 131-132

[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke XIX, Jakarta: 1984
[4] Afandi, Ali, S.H, hukum waris hukum keluarga hukum pembuktian, 1986, Jakarta, PT Bina Aksar, hal 236

[5]s ubekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke XIX, Jakarta: 1984 hal.337
[6]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954)hlm. 352

Tidak ada komentar:

Posting Komentar