- Peradialn
Agama Sebelum Datangnya Kerajaan-Kerajaan Islam
Penerapan
hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum kedatangan kolonial
(masa kerajaan-kerajaan Islam), dalam penyelesaian muamalah, munaqahat,
dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara yudiris
lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan
Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara-perkara tersebut.[1]
Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum
datangnya pemerintahan kolonial yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga
periode, yaitu:
1.
Periode Tahkim
Terkait
lembaga peradilan, penyelesaian perkara antar warga yang beragama Islam
dilaksanakan melalui lembaga tahkim kepada faqih, muballigh, atau ulama yang
dianggap mampu melaksanakan peradilan. Tradisi tahkim kepada muhakkam
(orang yang menguasai ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan
sehari-hari disebut Ulama[2])
ini merupakan cikal bakal Peradilan Agama di Indonesia dalam masa awal
proses Islamisasi di Indonesia.[3]
2.
Periode Ahl
al-Halli wa al-‘Aqdi
Setelah
kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur kehidupan
sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan jalan mengangkat Ahl
al-Halli wa al-‘Aqdi. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas
pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat. Serta kemudian Ahl al-Halli
wa al-‘Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang
ada di masyarakat. Penunjukan ini berdasarkan atas dasar musyawarah dan
kesepakatan. Dasar pengangkatan
seseorang sebagai hakim didasarkan pada kitab-kitab fiqh yang mu’tabar,
seperti kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karangan Imam mawardi.
Hakim-hakim
dalam periode ini diangkat oleh rapat marga, rapat negeri, dan sebagainya
sesuai adat kebiasaan setempat. Tentang kedudukan dan peranan para hakim pada
masa ini adalah sama seperti pada masa periode tahkim, yaitu di samping sebagai
tokoh masyarakat juga sebagai penasehat agama Islam dan Imam Masjid.[4]
- Periode
Tauliah
Setelah
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim
dilaksanakan dengan cara tauliah dari Imam. Atau pelimpahan wewenang dari
sultan atau raja selaku kepala Negara. Kepala Negara mempunyai wewenang
mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim
di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan.
B. Peradilan Agama Islam di Kerajaan-Kerajaan Islam
Nusantara
1.
Peradilan Agama
Islam di Kerajaan Mataram
Kerajaan
Islam yang paling berpengaruh di Pulau Jawa adalah Demak (yang kemudian diganti
oleh Mataram), Cirebon dan Banten. Di Indonesia timur terdapat Kerajaan Goa di
Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas hingga kepulauan Filipina.
Di Sumatera yang ada Kerajaan Aceh yang wilayahnya meliputi kawasan Melayu
termasuk Malaysia dan sekitarnya.
Perkembangan
Peradilan agama Kerajaan Mataram yang paling menonjol adalah pada masa Sultan
Agung (1613-1645). Pada saat itu sebelum pengaruh Islam masuk dalam system Peradilan,
maka yang berkembang adalah ajaran Hindu yang mempengaruhi system peradilan.
Ketika itu perkara dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Perkara yang
menjadi urusan raja (perkaranya disebut Pradata)
2.
Perkara yang
bukan urusan pengadilan raja (perkaranya disebut Padu)
Hukum
pradata bersumber dari ajaran Hindu sedangkan Hukum Padu berasal dari adat dan kebiasaan masyarakat.
Perkara-perkara yang berhubungan dengan pradata adalah perkara-perkara yang
berhubungan dengan stabilitas Negara, seperti keamanan dan ketertiban umum,
penganiayaan, perampokan, pencurian, dan lain-lain. Perkara dan pelanggaran
dalam bentuk ini diproses dan diputuskan langsung oleh raja. Sementara perkara
Padu ialah perkara yang berkaitan dengan masalah pribadi seperti perselisihan
antar rakyat yang tidak bias didamaikan di lingkungan masing-masing.
Ketua
pengadilan meskipun pada tataran kebijakan masih berada di tangan sultan,
tetapi pelaksanaannya berada ditangan penghulu yang didampingi oleh
beberapa ulama dari lingkungan Pesantren sebagai anggota Majelis.
Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam
mengambil keputusan.
2.
Peradilan Agama
Islam di Kerajaan Aceh
Setelah
Kerajaan Samudera Pasai ditaklukan Portugis
sekitar tahun 1521 M, kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan
aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.
Mazhab
hukum Islam yang berkembang di Kerajaan Aceh adalah Madzhab Syafi’I, yang pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki seorang Mufti yang terkemuka
bernama Syekh Abdur Ra’uf Singkel. Selain itu juga terdapat seorang ulama besar
Nuruddin al-Raniri dengan karya
monumentalnya sebuah kitab “Shirath al-Mustaqiim”. Kitab tersebut digunakan
sebagai media penyebaran Islam dan sebagai pedoman bagi guru-guru agama dan
qhadi.
Di
Aceh, system Peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan peradilan
Negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan; tingkat pertama dilaksanakan di
kampong yang dipimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya menangani
perakara-perkara yang tergolong ringan, sedangkan perkara berat diselesaikan
oleh Balai Hukum Muhkim. Apabila yang berperkara tidak puas dengan putusan
tingkat pertama, dapat menagjukan banding ke tingkat kedua yakni Oeloebalang.
Bila ada pengadilan tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi
keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding lagi ke pengadilan tingkat
ketiga yang disebut panglima Sagi,. Seandainya putusan panglima sagi tidak
memuaskan, masih dapat mengajukan banding kepada sultan yang pelaksanaannya
oleh mahkamah agung yang anggotanya terdiri dari: Malikul Adil, Orang Kaya Sri
Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandahara, dan Faqih (Ulama).
3.
Peradilan Agama
Islam di Priangan
Cirebon
merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Orang yang berhasil
meningkatkan status Cirebon Menjadi sebuah kerajaan, yaitu Syarif Hidayatullah
yang terkenal dengan gelar “Sunan Gunung Jati” sebagai pengganti sekaligus
keponakan dari Pangeran Walang Sungsang. Dialah pendiri kerajaan Cirebon.
Di
Cirebon atau priangan terdapat tiga bentuk Peradilan yaitu Peradilan Agama,
Peradilan Drigama dan Peradilan Cilaga. Kompetensi peradilanagama adalah
perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati, yaitu yang
menjadi kompetensi absolut Peradilan Pradata di Mataram.
Kewenangan
absolut Pradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan
Pradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal
dengan pengadilan wasit.
4.
Peradilan Agama
Islam di Banten
Di
Banten, pengadilan disusun menurut syariat Islam. Pada masa Sultan Hasanudin
memegang kekuasaan di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin Qhadi
sebagai hakim tunggal. Sedang di Cirebon, pengadilan dilaksanakan oleh tujuh
orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan
panembahan Cirebon.
5.
Peradilan Agama
di Sulawesi
Di
Sulawesi kerajaan mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah Kerajaan Tallo
di Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul Kerajaan Gowa yang muncul sebagi kerajan
terkuat dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya.
Melalui
kekuasaan politikdalam struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ (pejabat
syariat) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek (Pejabat Adat) yang sebelum
datangnya Islam telah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh Kadi (Qhadi), yaitu
pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan.
6.
Pradilan Agama
Islam di Palembang
Pengadilan
Agama yang dipimpin Pangeran Penghulu merupakan bagian dari struktur
pemerintahan, di samping Pengadilan Syahbanar dan Pengadilan Patih.
Di pengadilan Syahbanar perkara diputus dengan berpedoman kepada hukum Islam
dan ajaran Al-Qur’an, sedangkan di Pengadilan Patih perkara diputus
dengan berpedoman kepada hukum adat.
Di
Kesultanan Palembang Darussalam menganut tiga system peradilan. Pertama, pengadilan
Agama yang dipimpin oleh Pangeran Penghulu Nato Agamo. Kedua, Pengadilan
Umum yang dipimpin oleh Tumenggung Karto Negaro dan Ketiga, Pengadilan
Adat (rapat Esak-Rapat Kecik) yang dipimpin oleh Pangeran Adipati atau Depati.
[1]
Dikutip dalam buku Karangan Prof. Dr. Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 191. Bersumber dari Buku
aslinya karangan Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4.
[2]
Yang dimaksud ulama dalam tradisi Islam adalah pengemban tradisi agama dan
seseorang yang paham betul terhadap syariah. Pada beberapa Negara Islam
disebut faqih. Dari kalangan mereka inilah yang ditunjuk sebagai qhadi
atau hakim dan penasehat dalam ilmu hukum. Lihat Ensiklopedia Indonesia,
(Jakarta: Ichtiar van Hoeve), hal. 368.
[3]
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah, (Jakarta:Gramata Publishing, 2010), hlm. 22.
[4]Abdul
Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam
Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar