Welcome... !!! Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Ini :)

Kamis, 21 Maret 2013

PERADILAN AGAMA SEBELUM DATANGNYA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA


  1. Peradialn Agama Sebelum Datangnya Kerajaan-Kerajaan Islam
Penerapan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum kedatangan kolonial (masa kerajaan-kerajaan Islam), dalam penyelesaian muamalah, munaqahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara yudiris lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara-perkara tersebut.[1]
            Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan kolonial yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Periode Tahkim
Terkait lembaga peradilan, penyelesaian perkara antar warga yang beragama Islam dilaksanakan melalui lembaga tahkim kepada faqih, muballigh, atau ulama yang dianggap mampu melaksanakan peradilan. Tradisi tahkim kepada muhakkam (orang yang menguasai ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan sehari-hari disebut Ulama[2]) ini merupakan cikal bakal Peradilan Agama di Indonesia dalam masa awal proses Islamisasi di Indonesia.[3]
2.      Periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi
Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan jalan mengangkat Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat. Serta kemudian Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukan ini berdasarkan atas dasar musyawarah dan kesepakatan. Dasar pengangkatan  seseorang sebagai hakim didasarkan pada kitab-kitab fiqh yang mu’tabar, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karangan Imam mawardi.
Hakim-hakim dalam periode ini diangkat oleh rapat marga, rapat negeri, dan sebagainya sesuai adat kebiasaan setempat. Tentang kedudukan dan peranan para hakim pada masa ini adalah sama seperti pada masa periode tahkim, yaitu di samping sebagai tokoh masyarakat juga sebagai penasehat agama Islam dan Imam Masjid.[4]
  1. Periode Tauliah
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara tauliah dari Imam. Atau pelimpahan wewenang dari sultan atau raja selaku kepala Negara. Kepala Negara mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan.



















B.     Peradilan Agama Islam di Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara
1.    Peradilan Agama Islam di Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam yang paling berpengaruh di Pulau Jawa adalah Demak (yang kemudian diganti oleh Mataram), Cirebon dan Banten. Di Indonesia timur terdapat Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas hingga kepulauan Filipina. Di Sumatera yang ada Kerajaan Aceh yang wilayahnya meliputi kawasan Melayu termasuk Malaysia dan sekitarnya.
Perkembangan Peradilan agama Kerajaan Mataram yang paling menonjol adalah pada masa Sultan Agung (1613-1645). Pada saat itu sebelum pengaruh Islam masuk dalam system Peradilan, maka yang berkembang adalah ajaran Hindu yang mempengaruhi system peradilan. Ketika itu perkara dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Perkara yang menjadi urusan raja (perkaranya disebut Pradata)
2.      Perkara yang bukan urusan pengadilan raja (perkaranya disebut Padu)
Hukum pradata bersumber dari ajaran Hindu sedangkan Hukum Padu  berasal dari adat dan kebiasaan masyarakat. Perkara-perkara yang berhubungan dengan pradata adalah perkara-perkara yang berhubungan dengan stabilitas Negara, seperti keamanan dan ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, pencurian, dan lain-lain. Perkara dan pelanggaran dalam bentuk ini diproses dan diputuskan langsung oleh raja. Sementara perkara Padu ialah perkara yang berkaitan dengan masalah pribadi seperti perselisihan antar rakyat yang tidak bias didamaikan di lingkungan masing-masing.
Ketua pengadilan meskipun pada tataran kebijakan masih berada di tangan sultan, tetapi pelaksanaannya berada ditangan penghulu yang didampingi oleh beberapa ulama dari lingkungan Pesantren sebagai anggota Majelis. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan.
2.    Peradilan Agama Islam di Kerajaan Aceh
Setelah Kerajaan Samudera Pasai ditaklukan Portugis  sekitar tahun 1521 M, kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.
Mazhab hukum Islam yang berkembang di Kerajaan Aceh adalah Madzhab Syafi’I, yang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki seorang Mufti yang terkemuka bernama Syekh Abdur Ra’uf Singkel. Selain itu juga terdapat seorang ulama besar Nuruddin al-Raniri  dengan karya monumentalnya sebuah kitab “Shirath al-Mustaqiim”. Kitab tersebut digunakan sebagai media penyebaran Islam dan sebagai pedoman bagi guru-guru agama dan qhadi.
Di Aceh, system Peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan peradilan Negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan; tingkat pertama dilaksanakan di kampong yang dipimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya menangani perakara-perkara yang tergolong ringan, sedangkan perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum Muhkim. Apabila yang berperkara tidak puas dengan putusan tingkat pertama, dapat menagjukan banding ke tingkat kedua yakni Oeloebalang. Bila ada pengadilan tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding lagi ke pengadilan tingkat ketiga yang disebut panglima Sagi,. Seandainya putusan panglima sagi tidak memuaskan, masih dapat mengajukan banding kepada sultan yang pelaksanaannya oleh mahkamah agung yang anggotanya terdiri dari: Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandahara, dan Faqih (Ulama).
3.         Peradilan Agama Islam di Priangan
Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon Menjadi sebuah kerajaan, yaitu Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan gelar “Sunan Gunung Jati” sebagai pengganti sekaligus keponakan dari Pangeran Walang Sungsang. Dialah pendiri kerajaan Cirebon.
Di Cirebon atau priangan terdapat tiga bentuk Peradilan yaitu Peradilan Agama, Peradilan Drigama dan Peradilan Cilaga. Kompetensi peradilanagama adalah perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati, yaitu yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Pradata di Mataram.
Kewenangan absolut Pradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan Pradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan pengadilan wasit.
4.    Peradilan Agama Islam di Banten
Di Banten, pengadilan disusun menurut syariat Islam. Pada masa Sultan Hasanudin memegang kekuasaan di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin Qhadi sebagai hakim tunggal. Sedang di Cirebon, pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan panembahan Cirebon.
5.      Peradilan Agama di Sulawesi
Di Sulawesi kerajaan mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul Kerajaan Gowa yang muncul sebagi kerajan terkuat dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya.
Melalui kekuasaan politikdalam struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ (pejabat syariat) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek (Pejabat Adat) yang sebelum datangnya Islam telah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh Kadi (Qhadi), yaitu pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan.
6.      Pradilan Agama Islam di Palembang
Pengadilan Agama yang dipimpin Pangeran Penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan, di samping Pengadilan Syahbanar dan Pengadilan Patih. Di pengadilan Syahbanar perkara diputus dengan berpedoman kepada hukum Islam dan ajaran Al-Qur’an, sedangkan di Pengadilan Patih perkara diputus dengan berpedoman kepada hukum adat.
Di Kesultanan Palembang Darussalam menganut tiga system peradilan. Pertama, pengadilan Agama yang dipimpin oleh Pangeran Penghulu Nato Agamo. Kedua, Pengadilan Umum yang dipimpin oleh Tumenggung Karto Negaro dan Ketiga, Pengadilan Adat (rapat Esak-Rapat Kecik) yang dipimpin oleh Pangeran Adipati atau Depati.       



[1] Dikutip dalam buku Karangan Prof. Dr. Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 191. Bersumber dari Buku aslinya karangan Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4.
[2] Yang dimaksud ulama dalam tradisi Islam adalah pengemban tradisi agama dan seseorang yang paham betul terhadap syariah. Pada beberapa Negara Islam disebut faqih. Dari kalangan mereka inilah yang ditunjuk sebagai qhadi atau hakim dan penasehat dalam ilmu hukum. Lihat Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve), hal. 368.
[3] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, (Jakarta:Gramata Publishing, 2010), hlm. 22.
[4]Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar